Kamis, 16 Februari 2012

Ideologi Pancasila di Era Globalisasi


Pendahuluan

Bagi bangsa dan rakyat Indonesia yang membangun bangsa dan negara dengan kekuatan dan kepribadian sendiri, perubahan sosial tak berarti westernisasi atau kebarat-baratan. Perubahan sosial yang terjadi dipandang sebagai upaya bangsa untuk mengembangkan kepribadiannya sendiri melalui penyesuaian dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat modern. Atau dengan kata lain, dengan kepribadiannya sendiri, bangsa dan negara Indonesia berani menyongsong dan memandang pergaulan dunia. Kini, mau tak mau dan suka tak suka, bangsa Indonesia harus hidup dan berada di antara pusaran arus globalisasi dunia. Tetapi, harus diingat bahwa bangsa dan negara Indonesia tak mesti kehilangan jati diri, kendati hidup di tengah-tengah pergaulan dunia.

Dalam pergaulan dunia yang kian global, bangsa yang menutup diri rapat-rapat dari dunia luar bisa dipastikan akan tertinggal oleh kemajuan zaman dan kemajuan bangsa-bangsa lain. Bahkan, negara sosialis seperti Uni Soviet yang terkenal anti dunia luar tidak bisa bertahan dan terpaksa membuka diri. Maka, kini, konsep pembangunan modern harus membuat bangsa dan rakyat Indonesia membuka diri. Dalam upaya untuk meletakan dasar-dasar masyarakat modern, bangsa Indonesia bukan hanya menyerap masuknya modal, teknologi, ilmu pengetahuan, dan ketrampilan, tetapi juga terbawa masuk nilai-nilai sosial politik yang berasal dari kebudayaan bangsa lain.

Bangsa dan rakyat Indonesia kini seakan-akan tidak mengenal dirinya sendiri sehingga budaya atau nilai-nilai dari luar baik yang sesuai maupun tidak sesuai terserap bulat-bulat. Nilai-nilai yang datang dari luar serta-merta dinilai bagus, sedangkan nilai-nilai luhur bangsa yang telah tertanam sejak lama dalam hati sanubari rakyat dinilai usang. Lihat saja sistem demokrasi yang kini tengah berkembang di Tanah Air yang mengarah kepada faham liberalisme. Padahal, negara Indonesia—seperti ditegaskan dalam pidato Bung Karno di depan Sidang Umum PBB—menganut faham demokrasi Pancasila yang berasaskan gotong royong, kekeluargaan, serta musyawarah dan mufakat.

Dalam kondisi seperti itu sekali lagi peran Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara memegang peranan penting. Pancasila akan menilai nilai-nilai mana saja yang bisa diserap untuk disesuaikan dengan nilai-nilai Pancasila sendiri. Dengan begitu, nilai-nilai baru yang berkembang nantinya tetap berada di atas kepribadian bangsa Indonesia. Pasalnya, setiap bangsa di dunia sangat memerlukan pandangan hidup agar mampu berdiri kokoh dan mengetahui dengan jelas arah dan tujuan yang hendak dicapai. Dengan pandangan hidup, suatu bangsa mempunyai pedoman dalam memandang setiap persoalan yang dihadapi serta mencari solusi dari persoalan tersebut.

Pengaruh Globalisasi Terhadap Nilai-Nilai Nasionalisme
Pengertian Globalisasi

Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah, Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa- bangsa di seluruh dunia. (Menurut Edison A. Jamli dkk.Kewarganegaraan.2005)

Menurut pendapat Krsna (Pengaruh Globalisasi Terhadap Pluralisme Kebudayaan Manusia di Negara Berkembang.internet.public jurnal.september 2005). Sebagai proses, globalisasi berlangsung melalui dua dimensi dalam interaksi antar bangsa, yaitu dimensi ruang dan waktu. Ruang makin dipersempit dan waktu makin dipersingkat dalam interaksi dan komunikasi pada skala dunia. Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan dan lain- lain. Teknologi informasi dan komunikasi adalah faktor pendukung utama dalam globalisasi. Dewasa ini, perkembangan teknologi begitu cepat sehingga segala informasi dengan berbagai bentuk dan kepentingan dapat tersebar  luas ke seluruh dunia.Oleh karena itu globalisasi tidak dapat kita hindari kehadirannya.

Globalisasi adalah fenomena dimana batasan-batasan antar negara seakan memudar karena terjadinya berbagai perkembangan di segala aspek kehidupan,khususnya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.Dengan terjadinya perkembangan berbagai aspek kehidupan khususnya di bidang iptek maka manusia dapat pergi dan berpindah ke berbagai negara dengan lebih mudah serta mendapatkan berbagai informasi yang ada dan yang terjadi di dunia.
Namun fenomena globalisasi ini tidak selalu memberi dampak positif,berbagai perubahan yang terjadi akibat dari globalisasi sudah sangat terasa,baik itu di bidang politik,ekonomi,sosial,budaya,dan teknologi informasi.


Berbagai dampak negatif terjadi dikarenakan manusia kurang bisa memfilter dampak dari globalisasi sehingga lebih banyak mengambil hal-hal negatif dari pada hal-hal positif yang sebenarnya bisa lebih banyak kita dapatkan dari fenomena globalisasi ini.

Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif. Pengaruh globalisasi di berbagai bidang kehidupan seperti kehidupan politik, ekonomi, ideologi, sosial budaya dan lain- lain akan mempengaruhi nilai- nilai nasionalisme terhadap bangsa.

Pengaruh positif globalisasi
1.   Dilihat dari globalisasi politik, pemerintahan dijalankan secara terbuka dan demokratis. Karena pemerintahan adalah bagian dari suatu negara, jika pemerintahan djalankan secara jujur, bersih dan dinamis tentunya akan mendapat tanggapan positif dari rakyat. Tanggapan positif tersebut berupa rasa nasionalisme terhadap negara menjadi meningkat.
2. Dari aspek globalisasi ekonomi, terbukanya pasar internasional, meningkatkan kesempatan kerja dan meningkatkan devisa negara. Dengan adanya hal tersebut akan meningkatkan kehidupan ekonomi bangsa yang menunjang kehidupan nasional bangsa.

3.  Dari globalisasi sosial budaya kita dapat meniru pola berpikir yang baik seperti etos kerja yang tinggi dan disiplin dan Iptek dari bangsa lain yang sudah maju untuk meningkatkan kemajuan bangsa yang pada akhirnya memajukan bangsa dan akan mempertebal rasa nasionalisme kita terhadap bangsa.

Pengaruh negatif globalisasi
1.    Globalisasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalisme dapat membawa kemajuan dan kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan berubah arah dari ideologi Pancasila ke ideologi liberalisme. Jika hal tesebut terjadi akibatnya rasa nasionalisme bangsa akan hilang
2.    Dari globalisasi aspek ekonomi, hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri karena banyaknya produk luar negeri (seperti Mc Donald, Coca Cola, Pizza Hut,dll.) membanjiri di Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita terhadap bangsa Indonesia.
3.   Mayarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat yang oleh masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat.
4.   Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya dan miskin, karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal tersebut dapat menimbulkan pertentangan antara yang kaya dan miskin yang dapat mengganggu kehidupan nasional bangsa.
5. Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian antarperilaku sesama warga. Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan peduli dengan kehidupan bangsa.

Pengaruh - pengaruh di atas memang tidak secara langsung berpengaruh terhadap nasionalisme. Akan tetapi secara keseluruhan dapat menimbulkan rasa nasionalisme terhadap bangsa menjadi berkurang atau hilang. Sebab globalisasi mampu membuka cakrawala masyarakat secara global. Apa yang di luar negeri dianggap baik memberi aspirasi kepada masyarakat kita untuk diterapkan di negara kita. Jika terjadi maka akan menimbulkan dilematis. Bila dipenuhi belum tentu sesuai di Indonesia. Bila tidak dipenuhi akan dianggap tidak aspiratif dan dapat bertindak anarkis sehingga mengganggu stabilitas nasional, ketahanan nasional bahkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Peran Pancasila di Era Globalisasi
a.    Pancasila Sebagai Pedoman Dalam Menghadapi Globalisasi

Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yang sudah ditentukan oleh para pendiri negara ini haruslah menjadi sebuah acuan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara,berbagai tantangan dalam menjalankan ideologi pancasila juga tidak mampu untuk menggantikankan pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia,pancasila terus dipertahankan oleh segenap bangsa Indonesia sebagai dasar negara,itu membuktikan bahwa pancasila merupakan ideologi yang sejati untuk bangsa Indonesia.

Oleh karena itu tantangan di era globalisasi yang bisa mengancam eksistensi kepribadian bangsa,dan kini mau tak mau,suka tak suka ,bangsa Indonesia berada di pusaran arus globalisasi dunia.Tetapi harus diingat bahwa bangsa dan negara Indonesia tak mesti kehilangan jatidiri,kendati hidup ditengah-tengah pergaulan dunia.Rakyat yang tumbuh di atas kepribadian bangsa asing mungkin saja mendatangkan kemajuan,tetapi kemajuan tersebut akan membuat rakyat tersebut menjadi asing dengan dirinya sendiri.Mereka kehilangan jatidiri yang sebenarnya sudah jelas tergambar dari nilai-nilai luhur pancasila.

Dalam arus globalisasi saat ini dimana tidak ada lagi batasan-batasan yang jelas antar setiap bangsa Indonesia,rakyat dan bangsa Indonesia harus membuka diri. Dahulu,sesuai dengan tangan terbuka menerima masuknya pengaruh budaya hindu,islam,serta masuknya kaum barat yang akhirnya melahirkan kolonialisme.pengalaman pahit berupa kolonialisme tentu sangat tidak menyenangkan untuk kembali terulang. Patut diingat bahwa pada zaman modern sekarang ini wajah kolonialisme dan imperialisme tidak lagi dalam bentuk fisik, tetapi dalam wujud lain seperti penguasaan politik dan ekonomi. Meski tidak berwujud fisik, tetapi penguasaan politik dan ekonomi nasional oleh pihak asing akan berdampak sama seperti penjajahan pada masa lalu, bahkan akan terasa lebih menyakitkan.

Dalam pergaulan dunia yang kian global, bangsa yang menutup diri rapat-rapat dari dunia luar bisa dipastikan akan tertinggal oleh kemajuan zaman dan kemajuan bangsa-bangsa lain. Bahkan, negara sosialis seperti Uni Soviet—yang terkenal anti dunia luar—tidak bisa bertahan dan terpaksa membuka diri. Maka, kini, konsep pembangunan modern harus membuat bangsa dan rakyat Indonesia membuka diri. Dalam upaya untuk meletakan dasar-dasar masyarakat modern, bangsa Indonesia bukan hanya menyerap masuknya modal, teknologi, ilmu pengetahuan, dan ketrampilan, tetapi juga terbawa masuk nilai-nilai sosial politik yang berasal dari kebudayaan bangsa lain. 

Yang terpenting adalah bagaimana bangsa dan rakyat Indonesia mampu menyaring agar hanya nilai-nilai kebudayaan yang baik dan sesuai dengan kepribadian bangsa saja yang terserap. Sebaliknya, nilai-nilai budaya yang tidak sesuai apalagi merusak tata nilai budaya nasional mesti ditolak dengan tegas. Kunci jawaban dari persoalan tersebut terletak pada Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara. Bila rakyat dan bangsa Indonesia konsisten menjaga nilai-nilai luhur bangsa, maka nilai-nilai atau budaya dari luar yang tidak baik akan tertolak dengan sendirinya. Cuma, persoalannya, dalam kondisi yang serba terbuka seperti saat ini justeru jati diri bangsa Indonesia tengah berada pada titik nadir. 

Bangsa dan rakyat Indonesia kini seakan-akan tidak mengenal dirinya sendiri sehingga budaya atau nilai-nilai dari luar baik yang sesuai maupun tidak sesuai terserap bulat-bulat. Nilai-nilai yang datang dari luar serta-merta dinilai bagus, sedangkan nilai-nilai luhur bangsa yang telah tertanam sejak lama dalam hati sanubari rakyat dinilai usang. Lihat saja sistem demokrasi yang kini tengah berkembang di Tanah Air yang mengarah kepada faham liberalisme. Padahal, negara Indonesia—seperti ditegaskan dalam pidato Bung Karno di depan Sidang Umum PBB—menganut faham demokrasi Pancasila yang berasaskan gotong royong, kekeluargaan, serta musyawarah dan mufakat. 
Sistem politik yang berkembang saat ini sangat gandrung dengan faham liberalisme dan semakin menjauh dari sistem politik berdasarkan Pancasila yang seharusnya dibangun dan diwujudkan rakyat dan bangsa Indonesia. Terlihat jelas betapa demokrasi diartikan sebagai kebebasan tanpa batas. Hak asasi manusia (HAM) dengan keliru diterjemahkan dengan boleh berbuat semaunya dan tak peduli apakah merugikan atau mengganggu hak orang lain. Budaya dari luar, khususnya faham liberalisme, telah merubah sudut pandang dan jati diri bangsa dan rakyat Indonesia. Pergeseran nilai dan tata hidup yang serba liberal memaksa bangsa dan rakyat Indonesia hidup dalam ketidakpastian. Akibatnya, seperti terlihat saat ini, konstelasi politik nasional serba tidak jelas. Para elite politik tampak hanya memikirkan kepentingan dirinya dan kelompoknya semata. 
Dalam kondisi seperti itu—sekali lagi—peran Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara memegang peranan penting. Pancasila akan menilai nilai-nilai mana saja yang bisa diserap untuk disesuaikan dengan nilai-nilai Pancasila sendiri. Dengan begitu, nilai-nilai baru yang berkembang nantinya tetap berada di atas kepribadian bangsa Indonesia. Pasalnya, setiap bangsa di dunia sangat memerlukan pandangan hidup agar mampu berdiri kokoh dan mengetahui dengan jelas arah dan tujuan yang hendak dicapai. Dengan pandangan hidup, suatu bangsa mempunyai pedoman dalam memandang setiap persoalan yang dihadapi serta mencari solusi dari persoalan tersebut .

Kesimpulan
Bangsa dan negara Indonesia tidak bisa menghindari akan adanya tantangan globalisasi,dengan menjadikan pancasila sebagai pedoman dalam menghadapi globalisasi bangsa Indonesia akan tetap bisa menjaga eksistensi dan jatidiri bangsa Indonesia.

Sumber: http://agusnurul.blogspot.com

Rabu, 08 Februari 2012

Ideologi Dasar: Leninisme dan Stalinisme

Pada intinya, Marx melihat bahwa kapitalisme pada suatu saat akan mengalami penurunan sebagai akibat keserakahannya sendiri, dan pada saat itulah kaum proletar akan mengadakan revolusi untuk mengambil alih kekuasaan dan mendirikan sebuah diktator proletariat.

Tapi yang Marx lakukan hanyalah berteori. Pada praktiknya, Marxisme justru diterapkan oleh orang lain, antara lain Lenin dan Stalin di Rusia (lalu Uni Soviet), Mao Zedong di Cina, Soekarno di Indonesia. Penerapan Marxisme oleh tokoh-tokoh komunisme tersebut memiliki perbedaan-perbedaan, baik antara satu dengan lain maupun dengan teori Marx itu sendiri.

Leninisme

Lenin adalah pemimpin golongan Bolshevik dari Partai Sosial Demokrat Rusia di tahun 1903. Selain golongan Bolshevik, partai ini juga memiliki golongan Menshevik. Golongan Menshevik adalah golongan yang setia pada ajaran Marx secara total. Bolshevik, golongan Lenin, menghendaki perubahan dalam teori-teori Marx.

Perbedaan ini terlihat terutama dalam dua hal. Pertama, dalam hal kepartaian. Menshevik berpendapat bahwa partai komunis harus berstruktur longgar dan berdasarkan pada massa (basis massa yang luas). Sebaliknya, Lenin beranggapan partai itu harus tersentralisasi, berdisiplin kuat dan terdiri atas revolusioner profesional. [1]

Perbedaan kedua adalah dalam hal memandang tahapan revolusi Marx. Menshevik percaya bahwa proletar harus menunggu revolusi borjuis terhadap feodal sebelum melakukan revolusi protelat terhadap borjuis.[2] Pada masa itu Rusia memang masih dipimpin oleh seorang tsar (kaisar).

Lenin menganggap hal itu hanya akan melemahkan semangat proletar. Lenin menginginkan sebuah revolusi yang ditujukan untuk menjatuhkan sekaligus borjuis dan tsar. Selain itu, Lenin juga menambahkan tentang peran penting petani dalam revolusi tersebut. Marx kurang menekankan pentingnya peran petani dalam revolusi (mungkin karena Marx mendasarkan teorinya pada nasib buruh di Inggris pascarevolusi industri ?red-). Kata Lenin, ?Revolusi yang dipimpin oleh kelas pekerja itu akan menghasilkan diktatur demokrasi yang revolusioner dari proletar dan petani.?[3]

Selain itu, berbeda dengan Marx yang menganggap revolusi akan terjadi sebagai akibat melemahnya kapitalisme (akibat perluasan pasar, produksi gila-gilaan yang berujung pada jatuhnya harga), Lenin justru melihat revolusi bisa terjadi kalau partai mau melakukan revolusi.[4]

Demi mendukung pendapatnya, Lenin menjelaskan mengapa revolusi tidak juga terjadi di negara-negara Eropa Barat yang sistem kapitalismenya sudah maju (dengan demikian, berdasarkan teori Marx, revolusi seharusnya sudah terjadi).

Menurut Marx, sistem kapitalisme yang digunakan negara-negara maju akan menyebabkan produksi melimpah. Karena terlalu banyak barang di pasar, maka harganya akan turun. Untuk mengatasinya, menurut Lenin, kapitalisme melakukan penjajahan, kolonialisme, dan pengendalian ekonomi negara lain.

Dengan melakukan hal-hal tersebut, kapitalisme mendapatkan tiga keuntungan, yaitu tenaga kerja yang murah, bahan mentah yang murah, dan pasar baru untuk memasarkan produksinya yang melimpah.

Akibat dari dilakukannya hal tersebut adalah terjadinya penindasan dari kelompok kecil kapitalis metropolitan terhadap masyarakan terbelakang yang sebenarnya lebih banyak jumlahnya. Penindasan ini menyebabkan aliran sumber daya dan keuntungan terjadi satu arah ke negara kaya. Pada akhirnya ini menyebabkan jurang antara negara miskin dengan kaya semakin lebar. Penindasan ini hanya bisa dihentikan dengan revolusi dunia.

Dengan demikian, kapitalis telah berhasil memperlambat arus kehancurannya sendiri, dan oleh karenanya revolusi yang dikatakan Marx tidak juga terwujud meskipun kapitalisme Eropa Barat telah demikian maju.

Oleh sebab itu, Lenin kemudian melancarkan revolusi yang terkenal, yaitu Revolusi Oktober 1917, langsung kepada tsar (feodal), bukan kepada borjuis, dan tidak dibawah komando kaum borjuis (seperti ?saran? Marx).

Revolusi itu berhasil menyingkirkan sekaligus dua musuh proletar, yaitu kaum feodal dan borjuis. Ternyata setelah revolusi Rusia terlempar ke dalam situasi chaos. Roda perekonomian terhenti, dan jika tetap keras kepala tidak melibatkan borjuis dalam sistem ekonomi dan pemerintahan, negara akan kolaps. Oleh karena itu pada tahun 1921 Lenin mulai melancarkan Politik Perekonomian Baru. Perusahaan-perusahaan milik pribadi di beberapa sektor dibenarkan, dan orang-orang yang ahli dalam bidangnya kembali dipakai dengan bayaranb besar. [5]

Kata Lenin, ?Negara memerlukan orang yang berpengalaman mengatur negara dan ekonomi, dan orang-orang ini ada di kelas yang lama? Kita terpaksa bekerja dengan pertolongan kelas yang kita tumbangkan.?[6]

Bagi seorang Marxis, ketidakmampuan Lenin untuk mengisi posisi-posisi penting dalam pemerintahan dan ekonomi bisa jadi dianggap sebagai sebuah dampak akibat ketergesaannya dalam melancarkan revolusi. Ingatlah bahwa alasan Marx menginginkan proletar untuk membantu revolusi borjuis terhadap feodal adalah untuk latihan serta pematangan sikap serta pikiran para pekerja itu dalam hal berorganisasi dan mengatur negara. Ketika Lenin melakukan jalan pintas, maka hilang sudah kesempatan proletar untuk belajar dari kaum borjuis. Hasilnya, ketika proletar sudah berkuasa, mereka justru memerlukan borjuis untuk membantu mereka, dan bukannya memburu borjuis untuk dihabisi.

Stalinisme

Stalin, memimpin Uni Soviet semenjak 1924, memiliki pemikiran yang lebih maju daripada Lenin. Stalin tidak hanya menunggu buruh-buruh negara lain melakukan revolusi, Stalin mendorong (menjadi pelopor) terjadinya sosialisme di dunia. Misalnya, dengan menyetujui Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk memberontak kepada pemerintahan Belanda pada tahun 1926-1927. Pemberontakan ini sebenarnya ditentang oleh Tan Malaka karena Tan merasa persiapan belum cukup matang. Stalin juga melakukan intervensi terhadap Maozedong melalui Maring (sebelumnya bernama Sneevliet ? bergerak di Indonesia-) dengan memerintahkan Mao untuk bekerja sama dengan Chiang Kai Sek dari Partai Kuomintang.[7]

Stalin juga memperkenalkan model perencanaan lima tahun. Model ini dirancang untuk menjadikan Uni Soviet sebagai kekuatan industri dan militer.[8] Model inilah yang kemungkinan ditiru oleh Soeharto sebagai Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)[9]. Jika benar Soeharto terinspirasi dari Stalin maka ini adalah sebuah ironi, karena Soeharto mengambil contoh justru dari sebuah negara komunis, yang ideologinya sendiri dilarang untuk beredar di Indonesia semenjak masanya.

Ini pun sekaligus menunjukkan bahwa sebuah orde yang begitu membenci komunisme pun bisa memetik pelajaran darinya, sehingga ketakutan yang berlebihan (paranoia) terhadap komunisme akan menutup kemungkinan bangsa ini untuk mengambil hal-hal baik dari komunisme.

Kembali ke perbedaan pemikiran antara Stalin dengan Marx dan Lenin, Stalin juga tidak sependapat dengan Marx tentang hilangnya negara ketika masyarakat komunis telah tercapai. Alasannya adalah karena Uni Soviet justru dikepung oleh negara-negara kapitalis sehingga negara justru perlu menjadi lebih kuat dan bukannya hilang.[10]

Meski begitu, biarpun pada suatu saat komunisme akan menang menghadapi kapitalisme, negara tidak akan hilang begitu saja, karena di dalam masyarakat akan selalu ada pihak-pihak yang menentang kekuasaan diktator proletariat.[11]

Begitulah akhir pembahasan tentang dasar-dasar Leninisme dan Stalinisme. Mudah-mudahan telah menjadi jelas apa perbedaan-perbedaan antara pemikiran Marx, Lenin dan Stalin tentang komunisme. Penting untuk diingat bahwa meskipun pemikiran Marx diperbaharui oleh dua nama setelahnya, bukan berarti mereka menentang Marx. Artinya, Lenin dan Stalin bukan berusaha untuk meruntuhkan Marxisme, melainkan berusaha untuk membuat Marxisme menjadi lebih bisa diaplikasikan, terutama untuk Uni Soviet.

Untuk sementara, saya cukupkan dulu pembahasan tentang komunisme sampai Stalinisme ini. Mungkin berikutnya saya akan mencoba menulis tentang Maoisme dan Marhaenisme-nya Soekarno. Semoga akan bisa terlihat nanti bahwa perbedaan-perbedaan juga akan terjadi antara Mao dan Soekarno dengan pemikiran Marx, karena mereka berusaha memadukan Marxisme dengan kebutuhan nasional masing-masing.[]